Kamus Berjalan?

16 Jul

Apa yang terlintas di benak Anda ketika berhadapan dengan seorang mahasiswa Departemen Sastra Indonesia, khususnya yang mengambil bidang studi linguistik atau ilmu bahasa? Asumsi yang paling sering muncul di benak sebagian besar orang adalah mahasiswa itu mengerti arti kata. Apalagi kalau berhadapan dengan alumnus Sastra Indonesia. Orang tidak segan untuk menanyakan perihal arti kata kepadanya. Dengan kata lain, mereka ini dianggap sebagai kamus berjalan.“Mana yang benar, memproses atau memroses?” begitu kira-kira orang akan bertanya perihal morfologi.

“Apa arti kata implementasi?” begitu kira-kira orang bertanya perihal arti kata, sesuatu yang akan terlontar hanya karena ia, umumnya, malas membuka kamus, atau memang tidak memiliki kamus.

Benarkah bahwa seorang mahasiswa maupun alumnus Sastra Indonesia bidang linguistik merupakan sebuah kamus berjalan? Jawabnya tidak mungkin!

Ia mungkin saja mengerti banyak arti kata. Tapi tidak seluruh kamus ia ketahui. Ia mungkin saja bisa menjelaskan perbedaan kata dunia dengan bumi, misalnya, namun, ia tetap saja bukan kamus berjalan.

Ada dua alasan mengapa saya berani berkata demikian.

Pertama, bidang linguistik pada dasarnya merupakan bidang ilmu yang sangat luas. Berdasarkan cara kerjanya saja, ada linguistik historis komparatif atau linguistik diakronis, dan linguistik deskriptif atau linguistik sinkronis. Dalam tataran yang kecil, ada studi di bidang fonologi, yang masih dapat dipecah dalam fonetik dan fonemik. Ada pula morfologi, lalu sintaksis. Ada lagi leksikologi dan leksikografi. yang disebutkan terakhir inilah yang berkenaan dengan kamus. Itu pun berkenaan dengan teknik penulisan, penyusunan, dan pengelompokan kata. Artinya, tidak melulu seorang leksikograf bisa menjelaskan seluruh arti kata yang ada dalam bahasanya.

Masih ada bidang-bidang linguistik lain yang bisa menjadi konsentrasi para mahasiswa maupun alumnus. Sebut saja sosiolinguistik, pragmatik, atau analisis wacana. Jadi dalam hal ini, tidaklah pada tempatnya memosisikan mereka ini sebagai kamus berjalan atau kamus hidup.

Kedua, kamus bahasa Indonesia memuat ribuan lema atau kata, berikut dengan artinya masing-masing. Jumlah itu masih akan terus bertambah seiring dengan ekspansi bahasa asing, seperti bahasa Inggris. Lihat saja dalam KBBI, ada kata mitra (2002: 749), ada pula partner (2002: 832). Lalu apa bedanya? Sesungguhnya tidaklah berbeda. Kata partner justru muncul akibat maraknya penggunaan bahasa Inggris. Coba saja Anda teliti KBBI kita itu, daftarkan berapa banyak kosakata bahasa Inggris yang langsung bisa dikenali dari bentuknya.

Nah, melihat dua hal tersebut, sangatlah riskan bila menganggap para mahasiswa linguistik bahasa Indonesia maupun alumninya sebagai kamus berjalan atau kamus hidup.

2 Responses to “Kamus Berjalan?”

  1. Harjanta August 26, 2009 at 8:33 am #

    Masih banyak hal-hal yang berkaitan dengan arti kata. Setiap orang apabila bertemu dengan guru bahasa Indonesia, sering yang ditanyakan masalah arti kata. Padahal seperti itu tidak begitu penting manfaatnya. Contoh dalam bahasa Jawa diartikan ke dalam bahasa Indonesia (Kunduran truk). Sepertinya mereka hanya mencari kelemahan-kelemahan yang ada dalam bahasa Indonesia.

  2. kiki March 18, 2012 at 2:11 pm #

    Benar sekali. Hal tersebut yang kerap terjadi pada saya. Sebagai alumnus Sastra Indonesia jurusan linguistik, seringkali saya dihadapkan pada pertanyaan ini itu yang berkaitan dengan bahasa. Kalau saya tahu, ya tentu saja saya coba untuk menjawabnya. Susahnya jika saya memang benar-benar tidak mengetahui dan mengerti mengenai hal yang ditanyakan. Dan kebanyakan pertanyaan yang muncul adalah mengenai linguistik secara umum, seperti makna, penggunaan kalimat yang benar, lalu kata apa yang seharusnya digunakan, dan banyak hal lain yang terkadang tidak terlalu saya kuasai. Saya sendiri pada saat kuliah mengambil konsentrasi pada bidang dialektologi dan linguistik historis komparatif. Sehingga untuk hal yang berbau linguistik secara umum saya hanya menguasai dasarnya saja.
    Namun aja baiknya juga, dengan banyaknya tanggapan atau pertanyaan yang mereka tujukan kepada saya, membuat saya semakin terpacu untuk menambah ilmu saya dengan lebih banyak belajar lagi. Kita sebagai manusia memang perlu dikritik agar mau memperbaiki diri menjadi lebih baik dan lebih bermanfaat. Terima kasih.

Leave a reply to Harjanta Cancel reply